Sabtu, 02 Juni 2012

Sugarplum Part 1


“Akan ada waktunya ketika tukang pos berhenti singgah ke rumahmu, dan hingga saat itu tiba cobalah berdamai sejenak denganku.”

Dandee  terbangun pagi itu dengan muka berantakan, dengan rambut berantakan, pakaian berantakan dan kamar yang seperti korban perang. Tiba-tiba ia terkesiap dan berlari menuju jendela  kayu di seberang ruangan, ia membuka tiap gerendelnya yang seperti jeruji dan terpana melihat pemandangan di luar sana… Welcome to Puri-Puri’s Land.
***
“Dandee… Dandee!”
“Ah, kamu siapa?” tanya Dandee sambil masih terkaget-kaget, dia masih tidak percaya sedang berada dimana, dan bersama makhluk-makhluk yang tergolong unik. Perempuan itu kembali menuju kasur kayu kerasnya, sekarang ia memperhatikan seluruh perabotan terbuat dari kayu, bahkan di tiap sudut dinding terdapat akar pohon raksasa, tak butuh banyak waktu sampai ia menyadari bahwa ini adalah rumah pohon, dan seseorang yang menyebut namanya tadi adalah peri. Makhluk mungil itu tidak bersayap, tapi ia terbang, dan mempunyai sungut di kepalanya, mukanya bundar, dan badannya kecil, ia mirip sekali dengan manusia umumnya, bahkan lebih lucu dari itu, namanya adalah Mimipi, ia memperkenalkan diri sebagai peri hutan sayap selatan, dan saudara kembarnya ada di hutan sebelah utara. Sambil mendengarkan cerita Mimipi, mereka berdua berjalan keluar rumah untuk memetik long-long, semacam buah yang berbentuk terong namun manisnya seperti coklat. Dandee penasaran kenapa ia bisa terdampar disini, padahal baru kemarin ia mendapati dirinya sedang berada di sebuah kapal di perairan.
“Hei Mimi, katakanlah, kenapa aku berada disini?” ujarnya pelahan sambil menerawang ke langit-langit hutan, tempat itu rimbun dan gelap sekali meskipun di siang hari, karenanya hutan itu dinamakan Black Mottled Forest, satu-satunya hutan di tanah imajinasi tersebut.
“Kamu lupa? Kapalmu terhempas ombak dan tenggelam, dan ya hanya kamu yang selamat, hanya kamu yang berkeinginan kuat untuk hidup, makanya aku menarikmu ke negeri ini” jawab Dandee dengan senyumnya yang menenangkan. “Aku tahu kamu sulit mempercayai negeri ini, dan ingin kembali ke tempat asalmu, percayalah, akan tiba waktunya ketika kau menemui tujuanmu.”
“Tidak juga, kata siapa aku punya tujuan, siapa yang bilang aku berkeinginan kuat untuk hidup, bahkan mulutku pun seperti dijahit dengan rapatnya hingga tidak mampu berkata seperti itu, aku lupa, mungkin alasan aku berada di kapal itu karena ingin lepas… lepas dari kehidupan lamaku, lemas dari sesuatu yang bahkan aku tidak tergoda untuk mengingatnya.”
“Kalau begitu tinggalah disini…”
“A.. Apa?”
“Tinggalah disini, setidaknya hingga betadine itu dapat menyerap lukamu dan menyembuhkannya. Bukan waktu yang akan menghilangkan luka Ndee, tetapi usaha.”
Dandee tertegun mendengarnya, sesaat hatinya hangat. Hangat itu apa? Dia lupa ah dia sudah lama sekali tidak merasakan hangat, terakhir kali hangat yang dia rasa adalah ketika darah mengalir dari kepalanya dan menetes hingga ke lantai, sungguh dua konteks hangat yang berbeda. Ia mencoba mengingat kejadian sebelum di kapal, tetapi tak bisa. Rasanya seperti kejadian kemarin telah membuatnya amnesia.
“Negerimu ini seperti berada dalam dongeng, seperti mimpi, atau apakah jika aku berada disini berarti aku sudah mati?”
Mimipi hanya tersenyum kecil dan mendengarnya, tetapi ia tidak menjawab, dan Dandee merasa ia tidak akan bisa memaksa peri itu berbicara lebih banyak, untuk sekarang ia akan menikmatinya saja. Mereka pun sampai di sebuah rawa-rawa di tengah hutan. Jika rawa umumnya berwarna hijau lumut, maka rawa disini justru berwarna biru terang dan dingin seperti es. Dari kejauhan tampak sesosok monster biru besar yang sedang melambai-lambaikan tangan ke arah Mimipi.
“Mombo mombo gaba gabugahhhh Mimipu!” teriak monster itu dengan suara kerasnya.
“Mimi, dia bilang apa? Apakah dia marah? Kenapa suaranya menggelegar tetapi mukanya tersenyum lebar seperti itu??” Dandee kaget, untuk pertama kalinya ia melihat monster selain di buku dongeng miliknya.
“Dia Frankbeam, dia saudara jauh dari yeti, disini dia menjadi penjaga rawa di hutan ini hahaha, Beam sungguh makhluk yang ramah, tiap hari dia selalu menyaring berlian dari dalam rawa dan sesekali memberikannya kepadaku,” kata Mimipi sambil membalas lambaian tangan temannya itu. “Beam bilang cepat kemari Mimipi, ada yang ingin kutunjukkan.”

Mimipi, Frankbeam, and Mimipa.

Dan mereka berdua segera menyeberangi rawa untuk menghampiri Beam. Sesampainya disana ternyata ada sebuah keranjang jerami besar. Mimipi terpekik melihatnya, “Wow ini sarang kurcaci hutan! Pasti ada isinya di sekitar sini” jawabnya sambil melirik rerumputan di sekitar seakan mencari sesuatu.
“Umm… Mimi, di tempatku berada kurcaci itu kecil, mungil, dan lucu, apakah di Puri-puri juga begitu?” tanya Dandee penasaran, rupanya ia sudah mulai terbiasa dengan negeri ajaib ini dan para penduduknya.
“Kamu kaku sekali, Puri-puri itu terlalu panjang, kami biasa menyebut Puriri saja, ah tidak, disini kurcaci hutan tidak selucu itu, dan bentuk mereka pun mencuat berantakan seperti rumput yang berwarna abu kebiruan, mereka mungil, dan tidak pernah tersenyum.”
Tiba-tiba saja ada rambut mencuat dari sela-sela jerami, lalu perlahan munculah sesosok kurcaci hutan yang masih malu-malu menunjukkan rupanya. Pandangan pertama kurcaci tersebut langsung mengarah ke Dandee, dan tak sadar ia justru memperkenalkan dirinya kepada Dandee. “Gloomy! Gloomy!”
“Oh, dia berbicara kepadamu Ndee, dia menyukaimu.” kata Mimipi sambil menggendong makhluk tersebut. Mereka berdua pun pergi karena Beam juga masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Kita akan membawa makhluk ini ke rumah? Bagaimana dengan induknya?”
“Kurcaci hutan hidup sendirian meskipun baru dilahirkan, induknya pasti memang sengaja meninggalkan dia disana, untunglah Beam baik, kalau tidak pasti Gloomy sudah dimakannya.”


Gloomy.

“Entahlah… meninggalkan anaknya sendirian, aku merasa kalau harus seperti itu lebih baik tidak perlu melahirkan,” ucap Dandee seraya berbisik pelan. Mimipi hanya diam memperhatikan, sepertinya perempuan di sebelahnya ini menyimpan banyak tekanan batin, kalau tidak bagaimana ia bisa terdampar di Puriri.
Akhirnya mereka pun sampai di rumah pohon, Dandee kembali menuju kamarnya di atas, Mimipi meletakkan Gloomy dalam keranjang buaian di tengah ruangan.
“Istirahatlah Ndee, aku akan memanggilmu turun jika makanan sudah siap,” Mimipin pun bergegas ke dapur dan mulai memasak.
Dandee menghempaskan tuubuhnya ke kasur, pandangannya buram, perasaannya bergejolak. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang ingin marah, ingin kesal, tapi entah perasaan itu ditujukan kepada siapa. Ia tidak bisa mengingatnya, tapi sepertinya sesuatu yang berhubungan dengan ditinggal pergi, pengkhianatan, kesedihan, namun sekali lagi dia tidak bisa mengingatnya. Tak lama terdengar suara Mimipi memanggilnya, ia pun bergegas mengganti pakaiannya dengan pakaian yang disediakan di meja sudut ruangan. Pakaian itu mengingatkannya akan dongeng Pocahontas, berwarna coklat sederhana.
“Ah ngomong-ngomong soal dongeng, sekarang juga masih seperti dongeng…” gumamnya dalam hati sambil menuruni tangga.
Sesampainya di ruang tengah ia langsung disambut dengan wangi masakan yang enak sekali, Gloomy pun ternyata sudah menghabiskan mangkuk pertamanya.
“Sedang apa kamu di atas, lama sekali nyoh!” hardik Mimipi sambil mencubit-cubit perut Dandee.
“Aw haha… itu sakit Mi, ah padahal aku baru sebentar di atas hahaha,” jawabnya kegelian. Mereka pun makan sambil berceloteh riang.
“Hampir aku lupa, di negeri kami waktu berlalu lebih cepat, itu sebabnya aku bertanya kamu sedang apa di atas.”
Dandee bersiap-siap membersihkan peralatan makannya ketika sesuatu di lantai membuatnya tersandung, dan terjatuh. Tanpa bisa dihindari tumpukan piring dan gelas yang dibawanya pecah menghantam kepalanya, ia langsung pingsan seketika dengan darah mengalir dari sisi kiri kepalanya. Dengan cepat kesadaran menghilang dan penglihatannya memburam, Dandee hanya dapat mendengar sayup-sayup beberapa orang memanggil namanya, suara mereka tidak melengking tinggi seperti Mimipi, tetapi penuh kepanikan dan keputus asaan. Semakin sayup… semakin buram… dan semua pun tenggelam dalam kegelapan.
***
Dalam mimpinya semua serba putih, dalam bayangnya semua yang melambai kepadanya berwarna putih, dalam bawah sadarnya tercium bau alkohol dan obat yang kuat, serta beberapa orang yang silih berganti mengerubunginya. Ya, dalam mimpinya raut wajah tiap orang tersebut seperti pemain kabuki.
“Sayang, Dandee sayang… buka matanya sebentar.”
“Ndee! Bangun dong! Jangan buat gue takut sumpah ini nggak lucu!”
“Dandee… nak, maaf… maafkan papa, buka matanya sebentar.”
“Gue… kangen lo ndee, please banget janji kita masih bisa main bareng lagi, gue traktir lo kue cubit tiap pagi pasti!”
“………”
“Kamu, mau sampai kapan begini?”
Semua suara tersebut bercampur seperti adonan kue yang sedang diputar dengan mixer berkecepatan tinggi, tenggelam oleh bisingnya suara mesin, dan perlahan kedua kelopak mata yang pucat itu mengintip perlahan, berusaha mencari tahu darimana kebisingan itu berasal. Pergerakan pelan di matanya dilanjutkan dengan hembusan nafas yang mulai terasa kencang di hidungnya, dan ketika ada sesuatu yang hangat menyentuh telapak tangannya, ia pun membelalak kaget. Disitulah dirinya, di kelilingi oleh orang-orang dalam masa lalunya, atau masa yang seharusnya, dia tidak paham, rasanya dia masih berada di rumah pohon, seingatnya dia baru saja menghabiskan makanannya bersama Mimipi, seharusnya dia sedang berada di dunia yang seperti dalam semua cerita dongeng, tapi disinilah dirinya sekarang, di dalam sebuah ruangan besar serba putih… di rumah sakit.
Belum habis rasa kagetnya, tiba-tiba ada seseorang yang menangis sambil memeluknya, ternyata orang tuanya. Ah sepertinya sudah sangat lama dia tidur hingga semua orang begitu mencemaskannya. Kedua tubuh rapuh tersebut berulang kali meminta maaf dan bersyukur karena seonggok tubuh yang kecil ini tersadar kembali.
“Aku sudah berapa lama disini?” Tanya Dandee sambil membalas pelukan mereka.
“Satu minggu! Kamu bayangkan bagaimana khawatirnya mama sama papamu ini! Anya dan Pati yang membawamu kesini, sebelumnya penjaga pantai yang menolongmu saat tenggelam, mama panik Ndee! Jangan buat mama panik seperti ini lagi!” ucapnya histeris.
Dandee pun tersadar beberapa hal yang membuatnya kalut sesaat sebelum ia memutuskan untuk ‘berenang’ alias menenggelamkan diri sejenak dalam kamusnya, yaitu perpecahan kedua orang tuanya. Ia pun langsung mendorong kedua orang tuanya, dan bukannya marah, dia justru berbicara tanpa ekspresi, suara yang pelan namun dingin, entah sejak kapan ia mulai terbiasa mempunyai intonasi suara seperti itu.
“Jangan cuma bisa menangis sekarang, mama tahu Dandee tidak butuh air mata tambahan, oh iya soal ikut siapanya… Dandee lebih memilih tinggal sendiri, kalian bisa tetap mengirim uang bulanan, tapi Ndee tidak akan ikut salah satu pun dari kalian.” Jawabnya tegas. “Kedepannya pun Ndee akan mecari kerja sendiri, jadi bersabarlah hingga saat itu tiba, dan sekarang urus saja sisanya, I can face it kok.”
“Kenapa kamu keras kepala banget sih, kamu mau jadi perempuan bebas begitu? Kamu mau keluyuran tiap malam kalau tidak ada kita kan?” gertak papanya.
“Jadi perempuan bebas itu seenggaknya mempunyai title yang lebih baik daripada perempuan yang dua kali melakukan percobaan bunuh diri nantinya karena stress, papa lebih senang mendengar yang mana?”
“Yasudah kita turuti apa maunya… berjanjilah sama mama dan papa kejadian ini tidak akan terulang lagi, kita berpisah pun bukan berarti kita tidak akan bertemu… ini hanya permasalahan di sebuah akte, kamu mengerti kan? Untuk sementara ini Devon akan ikut mama, dan Didi akan diambil papa, kamu yakin akan baik-baik saja?”
“Kapan aku pernah baik-baik saja sekarang? Tidak pernah, dan mungkin tidak akan…” jawabnya singkat sembari menarik selimut hingga menutupi mukanya. “I wanna sleep again, so don’t bother me with this problem, at least, not in here and not now.”
Kedua orang tuanya pun terdiam, dan tanpa banyak bicara lagi mereka pun pamit pergi dari ruangan itu. Dandee merasa sesak di sekitarnya sedikit berkurang, kemudian ada bunyi terbatuk pelan dan Dandee membuka selimutnya lagi. Di hadapannya masih berdiri dua orang lagi, yang bahkan ia tidak menyadari keberadaan mereka sedari tadi. Ia pun membetulkan posisi duduknya dan mengernyitkan dahi.
“Ah kalian, sumpah gue nggak sadar ada orang lain disitu dari tadi hahaha.”
Salah seorang itu maju dan memukul kepala Dandee dan langsung memeluknya, “Bodoh! Bodoh! Bodoh parah! Udah tahu lo nggak bisa berenang ya ngapain belagak berenang?!! Gilee ndro gue watir sumpah Ndee!” kata perempuan yang bernama Anya tersebut. Mereka teman sepermainan sejak kecil, dan kini satu universitas, namun tidak satu jurusan. Anya lebih memilih sastra karena ingin menjadi pemain teater seperti ibunya, namun meskipun begitu hubungan mereka berdua sangat dekat. Bahkan sempat digosipkan sebagai pasangan lesbian.
“Itu bukan belagak, itu hasrat hahaha… iya iya gue nggak akan sepintar itu lagi sampai harus berenang di tengah pantai selatan hehe.”
“Apapun itu kamu tuh bodoh pokoknya,” sambung Pati. “Kehilangan dia bukan berarti kamu harus kehilangan nyawa juga Ndee.” Cowok itu segera menghampiri Anya dan Dandee sambil mengupas kulit apel dan memasukkan potongan buah tersebut secara paksa ke mulut Dandee.
“Makan ini, setidaknya mama kamu tadi nitipin kamu ke kita, awas kalau kamu nggak cepat-cepat keluar dari sini.”
Senyum Dandee menghilang sesaat, rona mukanya mendadak kelam. Melihat hal itu Anya langsung menginjak kaki Pati diam-diam, dan memelototi cowok tersebut.
“Noah… apa kabar dia? Bagaimana rupanya sekarang?” tanyanya sambil sedikit meneteskan air mata. Tidak… harusnya dia tidak menangisinya lagi, seharusnya bahkan dia sudah melupakan orang itu.
“Kalau lo mau tahu soal Noah, janji dulu sama kita lo cepat keluar dari sini, pusing gue nyium bau rumah sakit Ndee, kalau lo udah keluar, nanti gue ceritain.”
“Iya, aku setuju sama Anya, sembuhin dulu itu badan, malu sama umur, masih muda udah dirawat.”
Dandee tidak menjawab, mungkin lebih baik begini, karena dia pun merasa belum kuat untuk mendengar cerita tentang Noah. Ia pun kembali tiduran dengan posisi menyamping menghadap jendela. Langit di luar sana tampak terang, dan sekilas ada rombongan burung bergerak ke arah utara. Bukan hujan yang mengingatkannya akan sebuah kenangan, tetapi pemandangan ini. Dia pernah melihat pemandangan seperti ini dari puncak suatu bukit bersama Noah, hanya untuk menanti sunset dan melihat rasi bintang malam harinya. Tidak lebih dari 4 jam tanpa banyak kata yang terucap, hanya tangan yang selalu bergandengan, seulas senyum, mata yang beradu, dan dua gelas plastik berisi coklat hangat. Itu sudah cukup sangat romantis untuk Dandee.
“DOR!”
Anya membuyarkan lamunannya, dan menyodorkan kotak kado berpita merah. “Ini dari gue sama Pati, hadiah ulang tahun lo dua minggu lalu, telat banget sih, tapi gue rasa lo butuh ini.”
Dandee membuka dan terperangah, lalu mendadak ia tertawa,” Ahahahahaha ini kan handphone monophonic unyu-unyu dengan tipe yang sama macam lo berdua!.” Ia pun langsung menyalakan handphone tersebut, dan benar saja, dua kontak nama teratas ada Anya dan Pati.
“Iyalah! Dengan ini kita kembaran Ndee hahaha, nggak usah yang canggih-canggih, yang penting baterai tahan lama, dan ada orang yang ngehubungin lo, ya nggak?”
“Yoi, haha makasih banyak ya kalian, sini sini…” tawa Dandee riang sambil berpelukan. Kegundahan di hatinya hilang, setidaknya untuk sekarang.
***
2 minggu setelahnya…

Jalanan kumuh itu sesak dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang, padahal hari masih menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari, tapi kegiatan ekonomi sudah terlihat marak. Di kiri jalan tampak sederetan penjual kue basah, sedangkan di kanan jalan para penjual bumbu-bumbu masakan. Sinar lampu yang temaram dan jalanan yang becek tidak dihiraukan para penghuninya. Namun justru suasana inilah yang dirindukan Dandee, ia suka baunya, bau khas pasar tradisional. Membuatnya teringat setiap akhir minggu dia dan ibunya pergi berbelanja sayuran disini, setiap ada acara pasti langganan kue basah disini, bahkan hingga taraf anehnya, dia bertemu dengan Noah disini. Itu aneh untuk ukuran anak cowok di pasar tradisional pagi hari menemani ibunya belanja, sebenarnya hal itulah yang menarik perhatian Dandee pertama kali.
“Pak, lempernya 20, kleponnya 15, sama panadanya 15, eeeem… onde-onde 10 ya pak,” ucapnya bersemangat. Sudah lama ia tidak kesini, terakhir sekitar tiga bulan yang lalu bersama Noah. Waktu itu ada acara keluarga besar sehingga Dandee ditemani Noah yang kebagian tugas berbelanja. Saat itu senin pagi, dan paginya Noah terlambat ke kampus demi menemani Dandee.
“Neng kleponnya cuma ada 10, ditambahin sama risoles aja yah,” kata si penjual.
“Wah cepat banget habisnya, masih pagi banget ini kan pak.”
“Ya alhamdulilah aja neng, dari kemarin dagangan sepi, dari produsennya gara-gara harga bahan bakunya naik semua, yah jadinya bapak mah bisanya beli dari pusatnya sedikit, nah barusan ada yang borong kue, kayaknya seumuran sama neng juga, tapi cowok.”
Mendengar hal tersebut jantung Dandee langsung berpacu, pikirannya langsung menuju ke Noah. Dia pun cepat-cepat membayar dan menanyakan kemana arah cowok tersebut itu pergi. Sambil membawa seplastik penuh kue dia berlari dari bagian depan pasar kemudian menyeberangi kali yang menghubungkan bagian depan dengan zona penjual daging. Dandee mengenal jelas pasar itu, bagian gedung ini dulunya adalah bioskop besar pada zamannya, tentunya jauh sebelum Cinema XX1 masuk ke Indonesia. Ia menyusuri jalanan yang semakin padat, dan dipenuhi ibu-ibu yang sibuk menawar daging, bau darah hewan, bunyi golok yang menghantam talenan, pastinya Noah tidak sendirian, dia bukan ahli menawar di pasar meskipun hobinya adalah memotret kehidupan jual-beli di pasar. Perlahan langkahnya terhenti, dari jarak yang tidak terlampau jauh ia melihat sesosok tubuh yang sangat familiar, kamera itu, rambutnya yang tebal dan seringkali Dandee panggil dengan sebutan ‘british boy’, pundaknya yang tegap, kakinya yang kurus panjang, sepatu converse buluknya, serta gelang kulit yang pernah Dandee berikan saat ulang tahun cowok itu. Kenapa ia sudah begitu mempesona bahkan sebelum mukanya terlihat, punggung itu seperti magnet, membuatnya ingin memeluk dan terus mendekapnya,” bisik Dandee seraya menelan air liurnya sendiri. Tapi ia tahu pemandangan ini akan segera berakhir jika ia tidak melakukan apa-apa, tanpa basa-basi Dandee pun menghampiri Noah dan menepuk pundak cowok itu. Noah melihat ke belakang dan terkaget-kaget, ia menarik Dandee ke pinggir jalan, mukanya pucat.
“Kamu sedang apa disini? Sendirian?” Tanya Noah.
“Iya, ada acara di rumah teman, aku menawarkan diri untuk membantunya, jadilah aku beli kue disini, sekalian nostalgia sedikit, kalau kamu?”
“Aku ketua seksi konsumsi di acara reuni sekolahku dulu, mau dirayain sederhana aja di rumah Ebot, niatnya beli kue disini, makanya aku survei lagi, sekalian ngumpulin foto dikit.”
“Sendiri?”
“Iya.”
“Tumben, biasanya kamu nggak suka sendirian.”
“Aku nggak mau dibiasain, setelah nggak sama kamu, aku mulai biasa sendirian kok.”
“Terus kamu bangga? Kamu senang?”
“Apa sih? Biasa aja… aku dengar kemarin katanya kamu masuk rumah sakit yah?”
“Kamu dengar tapi kenapa nggak peduli?”
“Kan tadi aku bilang, udah ngebiasain diri tanpa kamu, termasuk ketika mendengar kabar kamu, jangan berharap mau diperhatiin banget deh.”
“Jadi kamu mau ngajak ribut sama aku di pasar?”
“Nggak, makanya ikut aku, aku mau ngomong,” Noah langsung menggandeng tangan Dandee dan keluar dari pasar, Dandee sama sekali tidak terkejut dan diam saja mengikutinya tanpa mengeluh ataupun bertanya. Noah lalu membawanya ke rumah, ia menyimpan motor di garasi dan bergegas menutup pintu setelah Dandee masuk. “Maaf berantakan, orang tuaku sedang keluar kota.”
“Terus kamu bela-belain bawa aku kesini buat ngelanjutin yang tadi?”
“Iya, aku mau memperjelas aja, tolong jangan ngelakuin hal bodoh seperti kemarin, berenang? Holyshit! Itu sama aja kamu cari mati Ndee, aku kan jadi…”
“Jadi merasa bersalah gitu?” potong Dandee. “Bagus kalau kamu merasa, toh aku memang begitu karena kamu, sadar hei, kamu ninggalin aku di saat yang tidak tepat!”
“Nggak tepat gimana? Aku nggak bisa lihat muka kamu makany…”
“Makanya kamu lewat sms? Asal kamu tahu, sebelum kamu sms, papa ku telfon dan bilang mereka sedang mengurus surat cerai, dan setelah itu kamu sms minta putus dengan alasan bosan, dan setelahnya lagi saat aku on the way ke pengadilan sendiri, aku melihatmu jalan bersama cewek lain, itu KEESOKANNYA LOH.”
“Hobi kamu motong pembicaraan orang yah…”
“Enggak, aku cuma motong pembicaraan kamu, dan karena aku nggak bisa ngatain kamu cari mati, lebih baik aku cari mati sendiri!”
“You’re freak!”
“Yeah, we’re freak, we’re getting absurd.”
Noah mendengus dan menyeringai, “we’re gonna have fun and we’re gonna run.” Dia menghampiri Dandee, kini merasa sudah sangat dekat sekali, hanya berdiri tegak berhadapan.
“Dari awal aku berbeda, dari lahir aku tidak normal, jangan harap sifatku juga normal, dan dengan kamu pacaran sama aku kemarin itu juga membuktikan keabnormalanmu.”
“Kamu tidak normal…”
“Kalau aku normal kamu tidak akan bersusah payah membawaku kemari setelah kita berpisah, toh banyak cewek diluar sana yang selalu ingin bersama denganmu.”
“Hubunganku denganmu tidak normal…”
“Kalau kamu mau normal, dari awal jangan bilang cinta, jangan bilang cinta kalau pada akhirnya kamu yang menyerah duluan pada masalah, aku masih ada sekarang itu bukti aku tidak menyerah!”
“Aku dan kamu tidak normal dan tidak butuh status untuk tetap berjalan…”
“We’re a team, a great combination, you’ll regret for letting me go kiddo.”
“Ya, denganmu adalah masa-masa gilaku…”
“Berapa kali harus kubilang kalau kita akan lebih kuat jika bersama.”
“Yaa mau gimana, kemarin aku bosan.”
“Dan kamu mengatakannya semudah orang mengedipkan mata? Terserah, mungkin aku bukan orang yang tepat disisimu dalam jangka pendek masa mudamu, tapi aku dapat bersamamu dalam jangka yang lebih panjang dari itu.”
Keduanya pun kehabisan kata-kata, hanya nafas menderu yang terdengar diantaranya, lalu tanpa diduga mereka berciuman lama. Ciuman itu tidak romantis, tapi tidak juga dingin. Rasa yang ditimbulkan seperti makan popcorn caramel yang kering, kering karena sedari tadi mulut mereka habis oleh ucapan, tiap gerakan dan sentuhannya seperti menghentak. Dandee rindu rasa itu, gairah ini, dan sedikit bau rokok yang tercium dari sela-sela rongga mulutnya, ya dia rindu cowok ini!
“Dandee, jangan salah paham, kita tidak balikan ya,” ucap Noah dengan tenangnya. Ia memeluk Dandee erat dan mendudukkannya di kursi. “Aku mencintaimu, bohong kalau aku ingin jauh darimu, namun aku juga tidak menyuruh kau menungguku, ataupun melarangku dekat dengan cewek lain.”
“Aku paham…”
“Sedekat apapun aku dengan mereka, seintim apapun stigma yang kamu berikan ketika melihat aku jalan dengan orang lain, ingatlah bahwa kita punya dunia yang berbeda yang tiada orang lain pun tahu.”
“Uh, terima kasih, itu sedikit terdengar sebagai sanjungan,” jawab Dandee. “Jadi berapa persen aku harus menaruh harapan supaya kita baikan?”
“Sesedikit mungkin, jangan terlalu fokus dan terlalu banyak, simpan itu sebaik-baiknya selama bersamaku nanti.”
Dandee tersenyum merekah, untuk pertama kalinya sejak ia tersadar dari komanya ia dapat tersenyum selepas ini.
“As I’ve said before, we are youth gone wild.”
“Itu bukannya lagu skid row? Haha we are walk in endless mile.”
“Noah, tidakkah kamu sadar kita bercengkrama meski masih pagi hari?”
“Aku sadar, sudah kubilang kalau kita bersama pasti aneh.”
Mereka berdua pun membiarkan diri tertidur di kursi depan, tanpa melepaskan tangan. Tidak ada keributan seperti tadi, keduanya hanya tertidur mendengarkan musik melalui earphone Dandee, tanpa berpegangan tangan, dan tidak saling berbicara. Beberapa jam kemudian mereka pun terbangun oleh dering telepon. Dandee kemudian pamit untuk pulang karena teringat tujuan awalnya.
“Kamu mau tidur lagi? Aku pulang ya”
“Tidak mau naik motor bersamaku? Jangan takut, aku tidak menggigit,yahh meskipun aku keberatan jika kamu memelukku terlalu erat, tapi tetap pegangan, aku tahu kamu hobi tidur di motor.” Ucap Noah seraya meledek.
“Lucu banget Noah, terima kasih sekali haha,” jawab Dandee sambil menaiki motor berbodi tinggi tersebut. “Jangan salah paham ya, mungkin aku pegangan karena mengantuk bukan mengenang wek!”
“You are welcome Dandee hahaha.”
Kemudian keduanya pun menghilang dari sisi jalan depan rumah, dengan derap tawa yang tersisa di belakang. Mulanya Dandee sempat ragu hubungan keduanya akan mencair kembali, namun dengan pertemuan dan sedikit keributan kembali menghangatkan keduanya. Ya mungkin memang lebih baik begini…
***
“But it’s not so bad… you’re only the best I’ve ever had… you don’t want me back… you’re just the best I’ve ever had.”
“You don’t need me back… you’re just the best I’ve ever had.”
“You were always right… you always right… “
“Now I’m here to say love can so boring… “
“I don’t want you back… you’re just the best I’ve ever had.”
“The best I’ve ever hadddd…” kata Dandee sambil terus mengulangi bait dari lagu Vertical Horizon tersebut.
Sejak kejadian di pasar kemarin, dia tidak pernah bertemu dengan Noah lagi, tidak ada komunikasi diantara keduanya. Kalau dari desas-desus miring yang beredar Noah sedang dekat dengan perempuan lain, perempuan yang berbeda dengan yang Dandee ketahui sebelumnya. Namun kali ini ia tidak kaget ataupun kesal, entah kenapa ia mulai bisa menerimanya. Dandee pun bangkit dari kasurnya dan mengecek aktivitasnya hari ini di notes.
“AH!” teriaknya kaget. Ia lupa bahwa hari ini harus kontrol ke dokter pribadinya. Tanpa memikirkan hal yang sebelumnya ia bergegas mengganti pakaiannya dan berangkat, tentu saja sambil terus mengeluh karena jarak rumah sakit yang jauh dan tidak ada yang dapat menemaninya hari itu.
“Panas sekali di luar,” lirik Dandee ke langit kuning di atasnya, hari itu rupanya cuaca sedang tidak bersahabat, dan Dandee sudah mulai merasa kelelahan, padahal rumah sakitnya kurang dari 100 meter lagi.
Dan benar saja, belum ada satu menit sejak keluhan terakhir Dandee ambruk ke tanah, matanya mengerjap mencoba untuk tetap sadar, tetapi pendengarannya semakin berkurang. Yang terakhir ia lihat hanya sesosok tubuh tegap mengangkatnya dan membawa ke suatu tempat. Setelah itu? Dandee merasa seperti jatuh berputar dalam lingkaran coklat alpenliebe… dan menghilang.
***
“Ndee…”
“Dandee..hiks..Dandee…”
Tangisan itu terdengar familiar di telinganya, dan aroma ini… aroma khas kayu ek serta udara di dalam hutan. Badannya yang semula keras kini perlahan melemas, dan baru terasa seseorang berusaha membangunkannya. Saat ia berusaha membuka mata, apa yang dilihatnya membuatnya ingin tidur lagi secepatnya. Tepat di atasnya tampak seperti monster lumut dengan kacamata bundar, dan di sebelahnya ada Mimipi yang tak henti-hentinya meneteskan air mata.
“Mimi? Kenapa aku ada disini lagi? Sempat kukira bertemu denganmu itu hanya mimpi?” Tanya Dandee kebingungan.
“Tapi tidak mendadak juga kamu pergi dan pingsan begini caranya, kau menakutiku Ndee…” jawab Mimipi dengan terisak-isak.
Kemudian monster berkacamata di sebelahnya mulai berbicara,”Kau tidak sadarkan diri selama 16 jam, dan badanmu sangat kaku, Mimipi sangat panic sedari tadi.”
“Kamu siapa?”
“Kenalkan saya Bibimbap, saya dokter di negeri ini,” ucapnya tersenyum ramah.
“Mimi… baru saja aku kembali ke duniaku, ah apakah ini lagi, aku bingung, hidup susah seperti mati pun tak mau.”
Dokter itu hanya tersenyum melihat Dandee yang kebingungan, dia pun mengambil secarik kertas dari sakunya dan membacakan isinya ke Dandee.
“Kalau menurut catatan dari buku yang pernah saya baca, saat kedua kalinya kau kembali ke Puriri ini hanya untuk mengucap perpisahan, karena pada akhirnya kau mulai menemukan pencerahan dari hal yang paling menyakitimu.”
“Hah? Perpisahan dengan siapa? Bukan mati kan?” jawab Dandee kaget.
Mimipi pun mencubitnya keras-keras dan memarahinya,”Apa yang kau pikirkan hah? Jangan bilang seakan kamu akan mati dalam dua detik hei!”
Dandee hanya mencibir, “Yahhh… habisnya… ah sudahlah aku juga bingung harus bilang apa.”
“Perhatikan kakimu,” kata dokter tersebut.
Dan benar saja, kaki Dandee seperti menghilang, badannya seperti melayang, dan perlahan dia memperhatikan bahwa kedua tangannya mulai sedikit transparan.
“Ini kenapa?”
“Ini artinya kau sudah tidak perlu berada di Puriri lagi,” senyum Mimipi.
“Coba ceritakan pada kami apa yang membuatmu sedikit lega akhir-akhir ini?”
Dandee terdiam, dan mencoba mengingat, ingatannya pun menuju pada satu kesimpulan. “Noah… aku merasa sudah mulai bisa melepaskan Noah, dan sudah mulai belajar tersenyum meski tanpanya, aku sudah merelakan kondisi keluargaku sekarang, yang aku fikirkan hanya cepat sembuh dan terus maju ke depan.”
“Nah…”
“Setitik cahaya itulah yang pada akhirnya kembali menyadarkanmu, dan membuatmu dapat lepas sepenuhnya dari imajinasi ini.”
“Apa itu artinya aku tidak akan bertemu kalian lagi?” Tanya Dandee sedikit kecewa. Harus diakui bahwa dia juga menyukai negeri ini, meski sangat sebentar.
“Perlahan kau sudah dapat berjalan di kerikilmu kembali, perlahan ketika kau terbangun kau akan melihat surya yang baru, perlahan tapi pasti… kau akan berjalan lebih kuat dari sebelumnya.” Kata Mimipi sambil menepuk pipi Dandee yang juga mulai transparan.
“Saat kau terjatuh, ingatlah bahwa kau pernah terjatuh dan tak akan mengulanginya, saat kau menangis, ingatlah bahwa air matamu itu sangat berharga untuk mengalir.”
“Ketika kau menyukai seseorang, disitulah titik dimana kedewasaanmu diuji, kau akan mencintainya secara dewasa, atau seperti anak-anak lainnya, ingatlah…”
“Dan Dandee… jangan pernah lupakan kami ya,” ucap Mimi yang kembali meneteskan air mata, keduanya pun berpelukan, dan seakan tanah di bawahnya longsor, Dandee pun kembali hilang kesadaran.
***
Sayup-sayup seperti suara pintu terbuka lalu tertutup kembali, dan bau rumah sakit ini terus menusuk masuk hidungnya. Dandee berusaha membuka matanya, kenapa hanya dengan membuka mata itu susah? Mendadak ada tangan yang menyentuh kepalanya, dan tiba-tiba matanya terbuka dengan cepat.
“Kamu sudah sadar?”
Dandee tidak mengenali orang yang berdiri di hadapannya, tetapi ia pasti seseorang yang membawanya kesini, samar-samar Dandee teringat wangi parfum yang sama dari orang tersebut. Kamu siapa?” Tanya Dandee.


***

To Be Continued...