Gloomy.
“Entahlah… meninggalkan
anaknya sendirian, aku merasa kalau harus seperti itu lebih baik tidak perlu
melahirkan,” ucap Dandee seraya berbisik pelan. Mimipi hanya diam
memperhatikan, sepertinya perempuan di sebelahnya ini menyimpan banyak tekanan
batin, kalau tidak bagaimana ia bisa terdampar di Puriri.
Akhirnya mereka pun
sampai di rumah pohon, Dandee kembali menuju kamarnya di atas, Mimipi
meletakkan Gloomy dalam keranjang buaian di tengah ruangan.
“Istirahatlah Ndee, aku
akan memanggilmu turun jika makanan sudah siap,” Mimipin pun bergegas ke dapur
dan mulai memasak.
Dandee menghempaskan
tuubuhnya ke kasur, pandangannya buram, perasaannya bergejolak. Ada sesuatu
dari dalam dirinya yang ingin marah, ingin kesal, tapi entah perasaan itu
ditujukan kepada siapa. Ia tidak bisa mengingatnya, tapi sepertinya sesuatu
yang berhubungan dengan ditinggal pergi, pengkhianatan, kesedihan, namun sekali
lagi dia tidak bisa mengingatnya. Tak lama terdengar suara Mimipi memanggilnya,
ia pun bergegas mengganti pakaiannya dengan pakaian yang disediakan di meja
sudut ruangan. Pakaian itu mengingatkannya akan dongeng Pocahontas, berwarna
coklat sederhana.
“Ah ngomong-ngomong
soal dongeng, sekarang juga masih seperti dongeng…” gumamnya dalam hati sambil
menuruni tangga.
Sesampainya di ruang
tengah ia langsung disambut dengan wangi masakan yang enak sekali, Gloomy pun
ternyata sudah menghabiskan mangkuk pertamanya.
“Sedang apa kamu di
atas, lama sekali nyoh!” hardik Mimipi sambil mencubit-cubit perut Dandee.
“Aw haha… itu sakit Mi,
ah padahal aku baru sebentar di atas hahaha,” jawabnya kegelian. Mereka pun
makan sambil berceloteh riang.
“Hampir aku lupa, di
negeri kami waktu berlalu lebih cepat, itu sebabnya aku bertanya kamu sedang
apa di atas.”
Dandee bersiap-siap
membersihkan peralatan makannya ketika sesuatu di lantai membuatnya tersandung,
dan terjatuh. Tanpa bisa dihindari tumpukan piring dan gelas yang dibawanya
pecah menghantam kepalanya, ia langsung pingsan seketika dengan darah mengalir
dari sisi kiri kepalanya. Dengan cepat kesadaran menghilang dan penglihatannya
memburam, Dandee hanya dapat mendengar sayup-sayup beberapa orang memanggil
namanya, suara mereka tidak melengking tinggi seperti Mimipi, tetapi penuh
kepanikan dan keputus asaan. Semakin sayup… semakin buram… dan semua pun
tenggelam dalam kegelapan.
***
Dalam mimpinya semua
serba putih, dalam bayangnya semua yang melambai kepadanya berwarna putih,
dalam bawah sadarnya tercium bau alkohol dan obat yang kuat, serta beberapa
orang yang silih berganti mengerubunginya. Ya, dalam mimpinya raut wajah tiap
orang tersebut seperti pemain kabuki.
“Sayang, Dandee sayang…
buka matanya sebentar.”
“Ndee! Bangun dong!
Jangan buat gue takut sumpah ini nggak lucu!”
“Dandee… nak, maaf…
maafkan papa, buka matanya sebentar.”
“Gue… kangen lo ndee,
please banget janji kita masih bisa main bareng lagi, gue traktir lo kue cubit
tiap pagi pasti!”
“………”
“Kamu, mau sampai kapan
begini?”
Semua suara tersebut
bercampur seperti adonan kue yang sedang diputar dengan mixer berkecepatan
tinggi, tenggelam oleh bisingnya suara mesin, dan perlahan kedua kelopak mata
yang pucat itu mengintip perlahan, berusaha mencari tahu darimana kebisingan
itu berasal. Pergerakan pelan di matanya dilanjutkan dengan hembusan nafas yang
mulai terasa kencang di hidungnya, dan ketika ada sesuatu yang hangat menyentuh
telapak tangannya, ia pun membelalak kaget. Disitulah dirinya, di kelilingi
oleh orang-orang dalam masa lalunya, atau masa yang seharusnya, dia tidak
paham, rasanya dia masih berada di rumah pohon, seingatnya dia baru saja
menghabiskan makanannya bersama Mimipi, seharusnya dia sedang berada di dunia
yang seperti dalam semua cerita dongeng, tapi disinilah dirinya sekarang, di
dalam sebuah ruangan besar serba putih… di rumah sakit.
Belum habis rasa
kagetnya, tiba-tiba ada seseorang yang menangis sambil memeluknya, ternyata
orang tuanya. Ah sepertinya sudah sangat lama dia tidur hingga semua orang
begitu mencemaskannya. Kedua tubuh rapuh tersebut berulang kali meminta maaf
dan bersyukur karena seonggok tubuh yang kecil ini tersadar kembali.
“Aku sudah berapa lama
disini?” Tanya Dandee sambil membalas pelukan mereka.
“Satu minggu! Kamu
bayangkan bagaimana khawatirnya mama sama papamu ini! Anya dan Pati yang
membawamu kesini, sebelumnya penjaga pantai yang menolongmu saat tenggelam,
mama panik Ndee! Jangan buat mama panik seperti ini lagi!” ucapnya histeris.
Dandee pun tersadar
beberapa hal yang membuatnya kalut sesaat sebelum ia memutuskan untuk
‘berenang’ alias menenggelamkan diri sejenak dalam kamusnya, yaitu perpecahan
kedua orang tuanya. Ia pun langsung mendorong kedua orang tuanya, dan bukannya
marah, dia justru berbicara tanpa ekspresi, suara yang pelan namun dingin,
entah sejak kapan ia mulai terbiasa mempunyai intonasi suara seperti itu.
“Jangan cuma bisa
menangis sekarang, mama tahu Dandee tidak butuh air mata tambahan, oh iya soal
ikut siapanya… Dandee lebih memilih tinggal sendiri, kalian bisa tetap mengirim
uang bulanan, tapi Ndee tidak akan ikut salah satu pun dari kalian.” Jawabnya
tegas. “Kedepannya pun Ndee akan mecari kerja sendiri, jadi bersabarlah hingga
saat itu tiba, dan sekarang urus saja sisanya, I can face it kok.”
“Kenapa kamu keras
kepala banget sih, kamu mau jadi perempuan bebas begitu? Kamu mau keluyuran
tiap malam kalau tidak ada kita kan?” gertak papanya.
“Jadi perempuan bebas
itu seenggaknya mempunyai title yang lebih baik daripada perempuan yang dua
kali melakukan percobaan bunuh diri nantinya karena stress, papa lebih senang
mendengar yang mana?”
“Yasudah kita turuti
apa maunya… berjanjilah sama mama dan papa kejadian ini tidak akan terulang
lagi, kita berpisah pun bukan berarti kita tidak akan bertemu… ini hanya
permasalahan di sebuah akte, kamu mengerti kan? Untuk sementara ini Devon akan
ikut mama, dan Didi akan diambil papa, kamu yakin akan baik-baik saja?”
“Kapan aku pernah
baik-baik saja sekarang? Tidak pernah, dan mungkin tidak akan…” jawabnya
singkat sembari menarik selimut hingga menutupi mukanya. “I wanna sleep again,
so don’t bother me with this problem, at least, not in here and not now.”
Kedua orang tuanya pun
terdiam, dan tanpa banyak bicara lagi mereka pun pamit pergi dari ruangan itu.
Dandee merasa sesak di sekitarnya sedikit berkurang, kemudian ada bunyi
terbatuk pelan dan Dandee membuka selimutnya lagi. Di hadapannya masih berdiri
dua orang lagi, yang bahkan ia tidak menyadari keberadaan mereka sedari tadi.
Ia pun membetulkan posisi duduknya dan mengernyitkan dahi.
“Ah kalian, sumpah gue
nggak sadar ada orang lain disitu dari tadi hahaha.”
Salah seorang itu maju
dan memukul kepala Dandee dan langsung memeluknya, “Bodoh! Bodoh! Bodoh parah! Udah
tahu lo nggak bisa berenang ya ngapain belagak berenang?!! Gilee ndro gue watir
sumpah Ndee!” kata perempuan yang bernama Anya tersebut. Mereka teman
sepermainan sejak kecil, dan kini satu universitas, namun tidak satu jurusan.
Anya lebih memilih sastra karena ingin menjadi pemain teater seperti ibunya,
namun meskipun begitu hubungan mereka berdua sangat dekat. Bahkan sempat
digosipkan sebagai pasangan lesbian.
“Itu bukan belagak, itu
hasrat hahaha… iya iya gue nggak akan sepintar itu lagi sampai harus berenang
di tengah pantai selatan hehe.”
“Apapun itu kamu tuh
bodoh pokoknya,” sambung Pati. “Kehilangan dia bukan berarti kamu harus
kehilangan nyawa juga Ndee.” Cowok itu segera menghampiri Anya dan Dandee
sambil mengupas kulit apel dan memasukkan potongan buah tersebut secara paksa
ke mulut Dandee.
“Makan ini, setidaknya
mama kamu tadi nitipin kamu ke kita, awas kalau kamu nggak cepat-cepat keluar
dari sini.”
Senyum Dandee
menghilang sesaat, rona mukanya mendadak kelam. Melihat hal itu Anya langsung
menginjak kaki Pati diam-diam, dan memelototi cowok tersebut.
“Noah… apa kabar dia?
Bagaimana rupanya sekarang?” tanyanya sambil sedikit meneteskan air mata.
Tidak… harusnya dia tidak menangisinya lagi, seharusnya bahkan dia sudah
melupakan orang itu.
“Kalau lo mau tahu soal
Noah, janji dulu sama kita lo cepat keluar dari sini, pusing gue nyium bau
rumah sakit Ndee, kalau lo udah keluar, nanti gue ceritain.”
“Iya, aku setuju sama
Anya, sembuhin dulu itu badan, malu sama umur, masih muda udah dirawat.”
Dandee tidak menjawab,
mungkin lebih baik begini, karena dia pun merasa belum kuat untuk mendengar
cerita tentang Noah. Ia pun kembali tiduran dengan posisi menyamping menghadap
jendela. Langit di luar sana tampak terang, dan sekilas ada rombongan burung
bergerak ke arah utara. Bukan hujan yang mengingatkannya akan sebuah kenangan,
tetapi pemandangan ini. Dia pernah melihat pemandangan seperti ini dari puncak suatu
bukit bersama Noah, hanya untuk menanti sunset
dan melihat rasi bintang malam harinya. Tidak lebih dari 4 jam tanpa banyak
kata yang terucap, hanya tangan yang selalu bergandengan, seulas senyum, mata
yang beradu, dan dua gelas plastik berisi coklat hangat. Itu sudah cukup sangat
romantis untuk Dandee.
“DOR!”
Anya membuyarkan
lamunannya, dan menyodorkan kotak kado berpita merah. “Ini dari gue sama Pati,
hadiah ulang tahun lo dua minggu lalu, telat banget sih, tapi gue rasa lo butuh
ini.”
Dandee membuka dan
terperangah, lalu mendadak ia tertawa,” Ahahahahaha ini kan handphone
monophonic unyu-unyu dengan tipe yang sama macam lo berdua!.” Ia pun langsung
menyalakan handphone tersebut, dan benar saja, dua kontak nama teratas ada Anya
dan Pati.
“Iyalah! Dengan ini
kita kembaran Ndee hahaha, nggak usah yang canggih-canggih, yang penting
baterai tahan lama, dan ada orang yang ngehubungin lo, ya nggak?”
“Yoi, haha makasih
banyak ya kalian, sini sini…” tawa Dandee riang sambil berpelukan. Kegundahan
di hatinya hilang, setidaknya untuk sekarang.
***
2 minggu setelahnya…
Jalanan kumuh itu sesak
dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang, padahal hari masih menunjukkan pukul
03.00 WIB dini hari, tapi kegiatan ekonomi sudah terlihat marak. Di kiri jalan
tampak sederetan penjual kue basah, sedangkan di kanan jalan para penjual
bumbu-bumbu masakan. Sinar lampu yang temaram dan jalanan yang becek tidak
dihiraukan para penghuninya. Namun justru suasana inilah yang dirindukan
Dandee, ia suka baunya, bau khas pasar tradisional. Membuatnya teringat setiap
akhir minggu dia dan ibunya pergi berbelanja sayuran disini, setiap ada acara
pasti langganan kue basah disini, bahkan hingga taraf anehnya, dia bertemu
dengan Noah disini. Itu aneh untuk ukuran anak cowok di pasar tradisional pagi
hari menemani ibunya belanja, sebenarnya hal itulah yang menarik perhatian
Dandee pertama kali.
“Pak, lempernya 20,
kleponnya 15, sama panadanya 15, eeeem… onde-onde 10 ya pak,” ucapnya
bersemangat. Sudah lama ia tidak kesini, terakhir sekitar tiga bulan yang lalu
bersama Noah. Waktu itu ada acara keluarga besar sehingga Dandee ditemani Noah
yang kebagian tugas berbelanja. Saat itu senin pagi, dan paginya Noah terlambat
ke kampus demi menemani Dandee.
“Neng kleponnya cuma
ada 10, ditambahin sama risoles aja yah,” kata si penjual.
“Wah cepat banget
habisnya, masih pagi banget ini kan pak.”
“Ya alhamdulilah aja
neng, dari kemarin dagangan sepi, dari produsennya gara-gara harga bahan
bakunya naik semua, yah jadinya bapak mah bisanya beli dari pusatnya sedikit,
nah barusan ada yang borong kue, kayaknya seumuran sama neng juga, tapi cowok.”
Mendengar hal tersebut
jantung Dandee langsung berpacu, pikirannya langsung menuju ke Noah. Dia pun
cepat-cepat membayar dan menanyakan kemana arah cowok tersebut itu pergi.
Sambil membawa seplastik penuh kue dia berlari dari bagian depan pasar kemudian
menyeberangi kali yang menghubungkan bagian depan dengan zona penjual daging.
Dandee mengenal jelas pasar itu, bagian gedung ini dulunya adalah bioskop besar
pada zamannya, tentunya jauh sebelum Cinema XX1 masuk ke Indonesia. Ia
menyusuri jalanan yang semakin padat, dan dipenuhi ibu-ibu yang sibuk menawar
daging, bau darah hewan, bunyi golok yang menghantam talenan, pastinya Noah
tidak sendirian, dia bukan ahli menawar di pasar meskipun hobinya adalah
memotret kehidupan jual-beli di pasar. Perlahan langkahnya terhenti, dari jarak
yang tidak terlampau jauh ia melihat sesosok tubuh yang sangat familiar, kamera
itu, rambutnya yang tebal dan seringkali Dandee panggil dengan sebutan ‘british
boy’, pundaknya yang tegap, kakinya yang kurus panjang, sepatu converse
buluknya, serta gelang kulit yang pernah Dandee berikan saat ulang tahun cowok
itu. Kenapa ia sudah begitu mempesona bahkan sebelum mukanya terlihat, punggung
itu seperti magnet, membuatnya ingin memeluk dan terus mendekapnya,” bisik
Dandee seraya menelan air liurnya sendiri. Tapi ia tahu pemandangan ini akan
segera berakhir jika ia tidak melakukan apa-apa, tanpa basa-basi Dandee pun
menghampiri Noah dan menepuk pundak cowok itu. Noah melihat ke belakang dan
terkaget-kaget, ia menarik Dandee ke pinggir jalan, mukanya pucat.
“Kamu sedang apa
disini? Sendirian?” Tanya Noah.
“Iya, ada acara di
rumah teman, aku menawarkan diri untuk membantunya, jadilah aku beli kue disini,
sekalian nostalgia sedikit, kalau kamu?”
“Aku ketua seksi
konsumsi di acara reuni sekolahku dulu, mau dirayain sederhana aja di rumah
Ebot, niatnya beli kue disini, makanya aku survei lagi, sekalian ngumpulin foto
dikit.”
“Sendiri?”
“Iya.”
“Tumben, biasanya kamu
nggak suka sendirian.”
“Aku nggak mau
dibiasain, setelah nggak sama kamu, aku mulai biasa sendirian kok.”
“Terus kamu bangga?
Kamu senang?”
“Apa sih? Biasa aja…
aku dengar kemarin katanya kamu masuk rumah sakit yah?”
“Kamu dengar tapi
kenapa nggak peduli?”
“Kan tadi aku bilang,
udah ngebiasain diri tanpa kamu, termasuk ketika mendengar kabar kamu, jangan
berharap mau diperhatiin banget deh.”
“Jadi kamu mau ngajak
ribut sama aku di pasar?”
“Nggak, makanya ikut
aku, aku mau ngomong,” Noah langsung menggandeng tangan Dandee dan keluar dari
pasar, Dandee sama sekali tidak terkejut dan diam saja mengikutinya tanpa
mengeluh ataupun bertanya. Noah lalu membawanya ke rumah, ia menyimpan motor di
garasi dan bergegas menutup pintu setelah Dandee masuk. “Maaf berantakan, orang
tuaku sedang keluar kota.”
“Terus kamu bela-belain
bawa aku kesini buat ngelanjutin yang tadi?”
“Iya, aku mau
memperjelas aja, tolong jangan ngelakuin hal bodoh seperti kemarin, berenang?
Holyshit! Itu sama aja kamu cari mati Ndee, aku kan jadi…”
“Jadi merasa bersalah
gitu?” potong Dandee. “Bagus kalau kamu merasa, toh aku memang begitu karena
kamu, sadar hei, kamu ninggalin aku di saat yang tidak tepat!”
“Nggak tepat gimana?
Aku nggak bisa lihat muka kamu makany…”
“Makanya kamu lewat
sms? Asal kamu tahu, sebelum kamu sms, papa ku telfon dan bilang mereka sedang
mengurus surat cerai, dan setelah itu kamu sms minta putus dengan alasan bosan,
dan setelahnya lagi saat aku on the way ke pengadilan sendiri, aku melihatmu
jalan bersama cewek lain, itu KEESOKANNYA LOH.”
“Hobi kamu motong
pembicaraan orang yah…”
“Enggak, aku cuma
motong pembicaraan kamu, dan karena aku nggak bisa ngatain kamu cari mati,
lebih baik aku cari mati sendiri!”
“You’re freak!”
“Yeah, we’re freak, we’re
getting absurd.”
Noah mendengus dan
menyeringai, “we’re gonna have fun and we’re gonna run.” Dia menghampiri
Dandee, kini merasa sudah sangat dekat sekali, hanya berdiri tegak berhadapan.
“Dari awal aku berbeda,
dari lahir aku tidak normal, jangan harap sifatku juga normal, dan dengan kamu
pacaran sama aku kemarin itu juga membuktikan keabnormalanmu.”
“Kamu tidak normal…”
“Kalau aku normal kamu
tidak akan bersusah payah membawaku kemari setelah kita berpisah, toh banyak
cewek diluar sana yang selalu ingin bersama denganmu.”
“Hubunganku denganmu
tidak normal…”
“Kalau kamu mau normal,
dari awal jangan bilang cinta, jangan bilang cinta kalau pada akhirnya kamu
yang menyerah duluan pada masalah, aku masih ada sekarang itu bukti aku tidak
menyerah!”
“Aku dan kamu tidak
normal dan tidak butuh status untuk tetap berjalan…”
“We’re a team, a great
combination, you’ll regret for letting me go kiddo.”
“Ya, denganmu adalah
masa-masa gilaku…”
“Berapa kali harus
kubilang kalau kita akan lebih kuat jika bersama.”
“Yaa mau gimana,
kemarin aku bosan.”
“Dan kamu mengatakannya
semudah orang mengedipkan mata? Terserah, mungkin aku bukan orang yang tepat
disisimu dalam jangka pendek masa mudamu, tapi aku dapat bersamamu dalam jangka
yang lebih panjang dari itu.”
Keduanya pun kehabisan
kata-kata, hanya nafas menderu yang terdengar diantaranya, lalu tanpa diduga
mereka berciuman lama. Ciuman itu tidak romantis, tapi tidak juga dingin. Rasa
yang ditimbulkan seperti makan popcorn caramel yang kering, kering karena
sedari tadi mulut mereka habis oleh ucapan, tiap gerakan dan sentuhannya
seperti menghentak. Dandee rindu rasa itu, gairah ini, dan sedikit bau rokok
yang tercium dari sela-sela rongga mulutnya, ya dia rindu cowok ini!
“Dandee, jangan salah
paham, kita tidak balikan ya,” ucap Noah dengan tenangnya. Ia memeluk Dandee
erat dan mendudukkannya di kursi. “Aku mencintaimu, bohong kalau aku ingin jauh
darimu, namun aku juga tidak menyuruh kau menungguku, ataupun melarangku dekat
dengan cewek lain.”
“Aku paham…”
“Sedekat apapun aku
dengan mereka, seintim apapun stigma yang kamu berikan ketika melihat aku jalan
dengan orang lain, ingatlah bahwa kita punya dunia yang berbeda yang tiada
orang lain pun tahu.”
“Uh, terima kasih, itu
sedikit terdengar sebagai sanjungan,” jawab Dandee. “Jadi berapa persen aku
harus menaruh harapan supaya kita baikan?”
“Sesedikit mungkin,
jangan terlalu fokus dan terlalu banyak, simpan itu sebaik-baiknya selama
bersamaku nanti.”
Dandee tersenyum
merekah, untuk pertama kalinya sejak ia tersadar dari komanya ia dapat
tersenyum selepas ini.
“As I’ve said before,
we are youth gone wild.”
“Itu bukannya lagu skid
row? Haha we are walk in endless mile.”
“Noah, tidakkah kamu
sadar kita bercengkrama meski masih pagi hari?”
“Aku sadar, sudah
kubilang kalau kita bersama pasti aneh.”
Mereka berdua pun membiarkan
diri tertidur di kursi depan, tanpa melepaskan tangan. Tidak ada keributan
seperti tadi, keduanya hanya tertidur mendengarkan musik melalui earphone
Dandee, tanpa berpegangan tangan, dan tidak saling berbicara. Beberapa jam
kemudian mereka pun terbangun oleh dering telepon. Dandee kemudian pamit untuk
pulang karena teringat tujuan awalnya.
“Kamu mau tidur lagi?
Aku pulang ya”
“Tidak mau naik motor
bersamaku? Jangan takut, aku tidak menggigit,yahh meskipun aku keberatan jika
kamu memelukku terlalu erat, tapi tetap pegangan, aku tahu kamu hobi tidur di
motor.” Ucap Noah seraya meledek.
“Lucu banget Noah,
terima kasih sekali haha,” jawab Dandee sambil menaiki motor berbodi tinggi
tersebut. “Jangan salah paham ya, mungkin aku pegangan karena mengantuk bukan
mengenang wek!”
“You are welcome Dandee
hahaha.”
Kemudian keduanya pun
menghilang dari sisi jalan depan rumah, dengan derap tawa yang tersisa di
belakang. Mulanya Dandee sempat ragu hubungan keduanya akan mencair kembali,
namun dengan pertemuan dan sedikit keributan kembali menghangatkan keduanya. Ya
mungkin memang lebih baik begini…
***
“But
it’s not so bad… you’re only the best I’ve ever had… you don’t want me back…
you’re just the best I’ve ever had.”
“You
don’t need me back… you’re just the best I’ve ever had.”
“You
were always right… you always right… “
“Now
I’m here to say love can so boring… “
“I
don’t want you back… you’re just the best I’ve ever had.”
“The best I’ve ever
hadddd…” kata Dandee sambil terus mengulangi bait dari lagu Vertical Horizon
tersebut.
Sejak kejadian di pasar
kemarin, dia tidak pernah bertemu dengan Noah lagi, tidak ada komunikasi
diantara keduanya. Kalau dari desas-desus miring yang beredar Noah sedang dekat
dengan perempuan lain, perempuan yang berbeda dengan yang Dandee ketahui
sebelumnya. Namun kali ini ia tidak kaget ataupun kesal, entah kenapa ia mulai
bisa menerimanya. Dandee pun bangkit dari kasurnya dan mengecek aktivitasnya
hari ini di notes.
“AH!” teriaknya kaget.
Ia lupa bahwa hari ini harus kontrol ke dokter pribadinya. Tanpa memikirkan hal
yang sebelumnya ia bergegas mengganti pakaiannya dan berangkat, tentu saja
sambil terus mengeluh karena jarak rumah sakit yang jauh dan tidak ada yang
dapat menemaninya hari itu.
“Panas sekali di luar,”
lirik Dandee ke langit kuning di atasnya, hari itu rupanya cuaca sedang tidak
bersahabat, dan Dandee sudah mulai merasa kelelahan, padahal rumah sakitnya
kurang dari 100 meter lagi.
Dan benar saja, belum
ada satu menit sejak keluhan terakhir Dandee ambruk ke tanah, matanya mengerjap
mencoba untuk tetap sadar, tetapi pendengarannya semakin berkurang. Yang
terakhir ia lihat hanya sesosok tubuh tegap mengangkatnya dan membawa ke suatu
tempat. Setelah itu? Dandee merasa seperti jatuh berputar dalam lingkaran
coklat alpenliebe… dan menghilang.
***
“Ndee…”
“Dandee..hiks..Dandee…”
Tangisan itu terdengar
familiar di telinganya, dan aroma ini… aroma khas kayu ek serta udara di dalam
hutan. Badannya yang semula keras kini perlahan melemas, dan baru terasa
seseorang berusaha membangunkannya. Saat ia berusaha membuka mata, apa yang
dilihatnya membuatnya ingin tidur lagi secepatnya. Tepat di atasnya tampak
seperti monster lumut dengan kacamata bundar, dan di sebelahnya ada Mimipi yang
tak henti-hentinya meneteskan air mata.
“Mimi? Kenapa aku ada
disini lagi? Sempat kukira bertemu denganmu itu hanya mimpi?” Tanya Dandee
kebingungan.
“Tapi tidak mendadak
juga kamu pergi dan pingsan begini caranya, kau menakutiku Ndee…” jawab Mimipi dengan
terisak-isak.
Kemudian monster
berkacamata di sebelahnya mulai berbicara,”Kau tidak sadarkan diri selama 16
jam, dan badanmu sangat kaku, Mimipi sangat panic sedari tadi.”
“Kamu siapa?”
“Kenalkan saya
Bibimbap, saya dokter di negeri ini,” ucapnya tersenyum ramah.
“Mimi… baru saja aku
kembali ke duniaku, ah apakah ini lagi, aku bingung, hidup susah seperti mati
pun tak mau.”
Dokter itu hanya
tersenyum melihat Dandee yang kebingungan, dia pun mengambil secarik kertas
dari sakunya dan membacakan isinya ke Dandee.
“Kalau menurut catatan
dari buku yang pernah saya baca, saat kedua kalinya kau kembali ke Puriri ini
hanya untuk mengucap perpisahan, karena pada akhirnya kau mulai menemukan
pencerahan dari hal yang paling menyakitimu.”
“Hah? Perpisahan dengan
siapa? Bukan mati kan?” jawab Dandee kaget.
Mimipi pun mencubitnya
keras-keras dan memarahinya,”Apa yang kau pikirkan hah? Jangan bilang seakan
kamu akan mati dalam dua detik hei!”
Dandee hanya mencibir,
“Yahhh… habisnya… ah sudahlah aku juga bingung harus bilang apa.”
“Perhatikan kakimu,”
kata dokter tersebut.
Dan benar saja, kaki
Dandee seperti menghilang, badannya seperti melayang, dan perlahan dia
memperhatikan bahwa kedua tangannya mulai sedikit transparan.
“Ini kenapa?”
“Ini artinya kau sudah
tidak perlu berada di Puriri lagi,” senyum Mimipi.
“Coba ceritakan pada
kami apa yang membuatmu sedikit lega akhir-akhir ini?”
Dandee terdiam, dan
mencoba mengingat, ingatannya pun menuju pada satu kesimpulan. “Noah… aku
merasa sudah mulai bisa melepaskan Noah, dan sudah mulai belajar tersenyum
meski tanpanya, aku sudah merelakan kondisi keluargaku sekarang, yang aku
fikirkan hanya cepat sembuh dan terus maju ke depan.”
“Nah…”
“Setitik cahaya itulah
yang pada akhirnya kembali menyadarkanmu, dan membuatmu dapat lepas sepenuhnya
dari imajinasi ini.”
“Apa itu artinya aku
tidak akan bertemu kalian lagi?” Tanya Dandee sedikit kecewa. Harus diakui
bahwa dia juga menyukai negeri ini, meski sangat sebentar.
“Perlahan kau sudah
dapat berjalan di kerikilmu kembali, perlahan ketika kau terbangun kau akan
melihat surya yang baru, perlahan tapi pasti… kau akan berjalan lebih kuat dari
sebelumnya.” Kata Mimipi sambil menepuk pipi Dandee yang juga mulai transparan.
“Saat kau terjatuh,
ingatlah bahwa kau pernah terjatuh dan tak akan mengulanginya, saat kau
menangis, ingatlah bahwa air matamu itu sangat berharga untuk mengalir.”
“Ketika kau menyukai
seseorang, disitulah titik dimana kedewasaanmu diuji, kau akan mencintainya
secara dewasa, atau seperti anak-anak lainnya, ingatlah…”
“Dan Dandee… jangan
pernah lupakan kami ya,” ucap Mimi yang kembali meneteskan air mata, keduanya
pun berpelukan, dan seakan tanah di bawahnya longsor, Dandee pun kembali hilang
kesadaran.
***
Sayup-sayup seperti
suara pintu terbuka lalu tertutup kembali, dan bau rumah sakit ini terus
menusuk masuk hidungnya. Dandee berusaha membuka matanya, kenapa hanya dengan
membuka mata itu susah? Mendadak ada tangan yang menyentuh kepalanya, dan
tiba-tiba matanya terbuka dengan cepat.
“Kamu sudah sadar?”
Dandee tidak mengenali
orang yang berdiri di hadapannya, tetapi ia pasti seseorang yang membawanya
kesini, samar-samar Dandee teringat wangi parfum yang sama dari orang tersebut.
Kamu siapa?” Tanya Dandee.
***
To Be Continued...
|